Rabu, 27 Februari 2008

Pemilihan Gubernur BI

[INILAH DOTCOM : The Indonesia Watch] - Pergantian Gubernur BI seharusnya berjalan lebih baik dari pemilihan Dirut Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jangan sampai terjadi seperti ketika pemerintah memperlakukan BUMN. Jika ini terjadi, bisa dipastikan stabilitas moneter Indonesia bakal terganggu.

Tidak ada salahnya Indonesia meniru suksesi pergantian pucuk pimpinan bank sentral yang berjalan tanpa gejolak. Misalnya, Alan Grenspan mulai memberikan peran kepada Bernanke saat ia mulai mengambil ancang-ancang mundur dari The Fed. Suksesi pun berjalan mulus.

Pasar melihat bahwa anggota Dewan Gubernur BI yang ada saat ini punya kredibilitas yang tinggi dan sepantasnya dilanjutkan. Hal ini bisa terjadi jika salah satu anggota Dewan Gubernur diberi kesempatan meneruskan kepemimpinan Burhanuddin Abdullah.

Kalangan DPR-RI sudah mensyaratkan bahwa figur yang memahami masalah moneter dan punya jaringan internasional yang seharusnya dipilih menjadi Gubernur BI.

Berdasarkan kriteria itu, kalangan DPR-RI pun menilai kandidat yang diajukan Presiden SBY saat ini belum memiliki kemampuan sepadan untuk menduduki kursi Gubernur BI.

Persoalannya, kalau mengurusi level mikro saja tidak bisa menciptakan ketenangan,

apalagi mengurusi industri perbankan yang lebih luas? Karena itu, pemerintah sebaiknya menerima usulan DPR-RI untuk mengikutsertakan kandidat dari internal BI.

Kamis, 21 Februari 2008

Jangan Seperti Memilih Dirut BUMN

[The Indonesia Watch] - Pergantian Gubernur Bank Indonesia (BI) seharusnya jangan seperti memilih Dirut Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Soalnya, ada kesan pemerintah sepertinya memperlakukan BI seperti BUMN. Hal ini mengkhawatirkan, soalnya jika ini terjadi, maka bisa dipastikan kelangsungan stabilitas moneter Indonesia bisa terganggu.
Tidak ada salahnya Indonesia meniru proses suksesi pergantian pucuk pimpinan bank sentral yang berjalan tanpa gejolak. Misalnya, Alan Grenspan mulai memberikan peran kepada Bernanke saat dia mulai mengambil ancang-ancang mundur dari The Fed. Sehingga suksesi berjalan mulus.

Pasar melihat bahwa anggota Dewan Gubernur BI yang ada saat ini pun memiliki kredibilitas yang tinggi dan seharusnya bisa dilanjutkan. Hal ini bisa terjadi, apabila salah satu anggota Dewan Gubernur dapat meneruskan kepemimpinan Burhanuddin Abdullah.
Kalangan DPR-RI sudah mensyaratkan bahwa figur yang memiliki kemampuan moneter yang tinggi dan jaringan internasional yang kuat merupakan prasyarat utama untuk menjadi gubernur BI. Dan ia melihat calon yang diajukan Presiden saat ini belum memiliki kemampuan yang sepadan untuk menduduki kursi Gubernur BI.
Persoalannya, kalau mengurusi level mikro saja tidak bisa menciptakan ketenangan, apalagi mengurusi yang industri perbankan yang lebih luas? Tidak ada pilihan lain, sebaiknya pemerintah menerima usulan DPR-RI untuk mengikutsertakan calon internal BI untuk maju sebagai Gubernur BI. Semoga. [Sumber : LIPUTAN 6. Baca juga di OKEZONE DOTCOM,

Jumat, 15 Februari 2008

Pertanyakan Konsistensi Kebijakan Investasi Asing

[Indonesia Care Group] - Konsistensi kebijakan investasi asing kembali dipersoalkan oleh sejumlah investor yang bergerak di dalam industri energi. Soalnya, pemerintah terkesan gampang memberikan cap negatif sehingga menabrak iklim kondusif bagi investor asing. Tidak mengherankan, jika kemudian Newmont lebih memilih penyelesaian arbitrase internasional ketimbang diurus pejabat RI.
Tentu saja indeks citra pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak market friendly akan semakin melorot tajam di mata internasional, jika persidangan arbitrase mulai digelar. Ke depan, sebaiknya pemerintah hati-hati dalam memberikan pernyataan—apalagi mengambil keputusan-keputusan penting di sektor ini—jika tidak ingin investor kabur ke negara lain dengan resiko akan menghadapi bumerang kampanye negative dari raksasa bisnis internasional.
Oleh karena itu, baik sekali jika pemerintah membatasi ruang gerak pejabat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) agar berpuasa memberikan pernyataan, namun berikanlah ruang gerak seluas-luasnya untuk berpromosi dan menangguk investor asing sebanyak-banyaknya. Untuk menjelaskan masalah ini, sebaiknya diberikan kepada pejabat terkait saja yang lebih bijaksana, yaitu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sebagaimana dipahami, dalam dunia usaha, dikenal dengan pepatah my word is my bond, jadi apa yang diomongkan bukan hanya merupakan janji, namun juga mencerminkan kelakuan kita. Bijaksanakah, atau adakah conflict of interest atau adakah kepentingan tertentu di situ, atau sebaliknya. Tentu, yang bisa menjawab pertanyaan ini adalah nurani yang tidak berbohong. Terima kasih.
[Sumber : SINAR HARAPAN. Tulisan ini juga bisa dilihat di :

Kegaduhan BLBI Ternyata Manuver Politik Doang!

[BLBI Monitor Network] - Kegaduhan dan hiruk-pikuk seputar Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terbukti hanya sebatas perpolitikan saja. Setelah mendengarkan penjelasan pemerintah yang mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terbukti bahwa baik pemerintah maupun kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya semacam panggung sandiwara saja.

Kami sangat prihatin dan bersedih, karena ternyata masih banyak obligor - pengemplang BLBI yang sangat tidak kooperatif, ternyata belum memperoleh tindakan hukum yang memadai. Sedangkan obligor yang kooperatif, justru dianiaya melalui kampanye hitam secara semena-mena. Melalui berbagai media komunikasi, baik melalui demonstrasi, maupun statemen pedas vokalis dari Senayan.

Sungguh memprihatinkan sekali memotret dunia perpolitikan dan dunia hukum di tanah air kita ini. Sikap pemerintah, DPR dan Kejaksaan Agung juga hampir sama seperti demonstran, secara sistematis dan terus-menerus membawa penyelesaian kasus BLBI ke ranah politik, tapi hasilnya apa? Keterangan pemerintah pada Sidang Interpelasi DPR menyebutkan ada 10 konglomerat yang masuk dalam kategori obligor bermasalah dan 7 obligor yang statusnya belum selesai.

Ternyata masih banyak obligor dari yang tidak kooperatif sampai dengan tingkat yang membangkang hingga saat ini ternyata masih berkeliaran bebas di dalam negeri dan di luar negeri. Lalu, apa prestasi dan partisipasi aparat hukum, dalam hal ini Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang masih menggantung itu. Mengapa justru Anthony Salim (Salim Group) dan Syamsul Nursalim (Gajah Tunggal Group) yang dianggap pemerintah obligor kooperatif justru menjadi bulan-bulanan empuk para demonstran dan vokalis Senayan serta oknum aparat?

Kami khawatir, ada agenda terselubung di balik kegaduhan dan hiruk-pikuk BLBI ini. Sehingga ada pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari persoalan ini. Semoga pihak aparat hukum bisa mengurai, siapa saja yang menangguk keuntungan dari kegaduhan dan hiruk-pikuk ini.

[Sumber : OKEZONE DOTCOM. Tulisan ini juga bisa dilihat di : JURNAL NASIONAL,