Kamis, 13 Maret 2008

Pengusaha Bioskop Harus Dukung Film Nasional

[The Celebrity Watch] - Pada saat ini, boleh dikatakan dunia perfilman nasional kita telah bangun dari tidur. Munculnya optimisme insan muda film dalam berkarya memberikan angin segar bagi masyarakat perfilman nasional. Tentu saja, kabar baik ini sangat menyejukkan kita yang tengah merasa frustasi oleh kondisi ekonomi saat ini.

Tidak salah, jika masyarakat Indonesia menaruh banyak harapan dengan meledaknya dunia perfilman nasional, demi sebuah identitas baru. Ini menggembirakan, karena berita (dan iklan) mengenai hadirnya film nasional baru seringkali kita lihat di media cetak hiburan atau pun media umum yang memiliki rubrikasi hiburan.

Untuk mempertahankan prestasi demikian, masyarakat perfilman nasional memerlukan dukungan semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan terutama pengusaha-pengusaha bioskop. Untunglah pengusaha bioskop cukup merespon positif, sehingga hari-hari terakhir ini kita banyak melihat film produksi dalam negeri di layer lebar.

Ke depan, kami mengharapkan agar dukungan bioskop dapat lebih aktif berperan serta memajukan perfilman nasional dengan jalan menayangkan secara luas film kita di arena pertunjukan film mereka. Mudah-mudahan, perfilman nasional Indonesia semakin maju dan sukses. Semoga!

[Sumber : JURNAL NASIONAL. Tulisan ini bisa juga dilihat di : OKEZONE DOTCOM,

Sabtu, 08 Maret 2008

Jangan Tinggalkan Perintis Blok Natuna

[Komuniktas Pemantau Energi Indonesia] - pemerintah RI sebaiknya jangan meninggalkan investor perintis Proyek Blok Natuna D Alpha. Bagaimana pun, sejak 1996 mereka sudah menginvestasikan biaya, waktu, dan tenaga untuk mengakuisisi 26% participating interest (PI) dan menanggung 7,33% PI milik Pertamina. Kemudian sejak 1999, ExxonMobil merubah kepemilikan PI menjadi 76% ExxonMobil dan 24% Pertamina.

Dalam perkembangannya kemudian, di tahun 2008 ini, pemerintah mengambilalih proyek dan menyerahkannya kepada Pertamina. Sayangnya, Pertamina sendiri mengakui bahwa perusahaan BUMN itu, tidak mungkin bekerja sendirian menggarap proyek tersebut, sebab memerlukan modal yang luar biasa besar. Setidaknya, dibutuhkan total investasi modal sebesar US$40 miliar (berarti lebih 8 X lebih besar dari Proyek Tangguh).

Oleh sebab Pertamina harus menggandeng investor asing untuk memberdayakan lapangan gas terbesar di Asia Tenggara itu. Ada beberapa argumentasi penting, mengapa ExxonMobil - sebagai investor perintis pantas diberikan kesempatan ulang untuk bekerja sama dengan Pertamina. Pertama, mayoritas proyek injeksi gas besar dunia dioperasikan atau dimiliki sebagian oleh ExxonMobil. Kedua, ExxonMobil termasuk pemimpin dalam teknologi pemisahan CO2, karena memiliki teknologi Controlled Freeze Zone (CFZ). Ketiga, pada saat ini ExxonMobil merupakan pengirim dan penjual gas CO2 terbesar di dunia. Dan, keempat, selama lebih dari 30 tahun, ExxonMobil sudah bekerja melakukan studi pengembangan Natura secara menyeluruh.

Memang Pemerintah RI dan Pertamina sepenuhnya memiliki kewenangan mutlak untuk mengeksekusi investor mana yang bakal dijadikan mitra. Namun demikian, dalam seleksi mitra investor harus berpegang teguh kepada kaidah transparansi dan jangan salah pilih investor. Kesalahan memilih mitra dipastikan akan berdampak luar biasa besar bagi perekonomian Indonesia maupun politik internasional kita.
[Sumber : JURNAL NASIONAL. Tulisan ini juga bisa dilihat di :

Penolakan Cagub BI

[Indonesia Care Group] - Gubernur Bank Indonesia (BI) memiliki tanggung jawab urusan devisa dan harus mampu membangun persepsi yang baik sehingga ada jaminan stabilitas moneter.

Jika yang diusulkan adalah orang yang bisa trading saja, perkembangan bank sentral ke depan bakal terancam. Demikian antara lain argumentasi Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDIP yang menolak calon Gubernur BI dari pemerintah.

Alasan penolakan DPR-RI terhadap cagub BI sebenarnya masuk akal. Tidak ada salahnya jika pemerintah mengedepankan sikap legowo dan rendah hati untuk menyikapi penolakan DPR-RI terhadap Dirut Bank Mandiri Agus Martowardoyo dan Wakil Dirut Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Raden Pardede. Pemerintah tidak perlu menyikapi penolakan fraksi-fraksi DPR-RI itu secara emosional. Sepantasnya disikapi bijaksana dan dengan kepala dingin. Bagaimana pun, sejarah adalah guru yang baik. Di dunia manapun, jarang terjadi organisasi bank sentral yang seharusnya independen tiba-tiba dipimpin mantan dirut bank umum.

Di Indonesia pun belum ada sejarahnya BI dipimpin mantan dirut bank umum, BUMN sekalipun. Nama-nama terkenal seperti Radius Prawiro (alm), Rachmat Saleh, Arifin M. Siregar, Adrianus Mooy, Soedradjad Djiwaddono, Syahril Sabirin, dan Burhanudin Abdullah merupakan firgur Gubernur BI yang tidak berasal dari pejabat bank umum.

Mengapa demikian? Menghindari conflict of interest atau benturan kepentingan.

Apakah kita akan menganut paham konvensional seperti dianut negara-negara di dunia pada umumnya atau kita akan menjungkirbalikkan paham konsensional yang sudah ada? Silakan tanya pada rumput yang bergoyang...

[Sumber : INILAH DOTCOM. Tulisan ini juga bisa dilihat di :

Senin, 03 Maret 2008

Siapakah Biang Kerok Kegaduhan BLBI ?

[BLBI Monitor Network] - Akhirnya Kejaksaan Agung (Kejakgung) tidak menemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi dalam dua kasus Bank Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pada kesempatan itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman juga mengumumkan pembubaran tim 35 jaksa yang bertugas menyelidiki dua kasus BLBI tersebut sekaligus menghentikan penyelidikan kasus tersebut.

Keputusan Kejagung tersebut relevan dengan logika keadilan hukum bisnis. Bagaimana mungkin, obligor yang dinilai pemerintah sebagai obligor yang kooperatif, dianiaya melalui berbagai unjuk rasa oleh para aktivis mahasiswa, dan juga dibombardir berita negatif yang berasal dari anggota DPR-RI.

Sebaliknya, obligor yang jahat dan tidak kooperatif (seperti yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR-RI), justru tidak tersentuh hukum - bahkan sebagian sukses ngumpet di luar negeri.

Oleh sebab itu, sebaiknya aparat hukum, baik Polri maupun Kejagung mengusut siapa konglomerat hitam yang menjadi biang kerok dan sponsor di balik kegaduhan BLBI selama ini. Selain merepotkan pemerintah karena membuang-buang energi dengan membuka kasus lama yang sudah closed, tekanan publik melalui unjuk rasa dan pernyataan negatif, sudah menorehkan citra negatif terhadap iklim investasi di Indonesia.

Berbagai kalangan kritis memprediksi, ada desain besar yang disponsori oleh konglomerat hitam untuk meluluhlantakkan tatanan hukum bisnis investasi setelah dia mereguk keuntungan ekonomis dan politis sekaligus. Dalam hal kepentingan ekonomis, konglomerat hitam itu hanya ingin mengeruk keuntungan tanpa mau mempertanggungjawabkan kewajiban utang-utang.

Konglomerat hitam sudah mengambil alih aset obligor BLBI melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan harga yang murah, namun tidak mau membayar kewajiban kepada pihak ketiga.

Pengusutan terhadap konglomerat hitam seperti ini pastilah akan memberikan citra positif terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Adalah political will pemerintah untuk memberangus konglomerat hitam seperti ini? Sebaiknya pemerintah yang menjawab pertanyaan ini.

[Sumber : JURNAL NASIONAL. Tulisan ini juga bisa dilihat di :

Minggu, 02 Maret 2008

Siapakah Biang Kerok Kegaduhan BLBI?

Akhirnya Kejaksaan Agung (Kejakgung) tidak menemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi dalam dua kasus Bank Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pada kesempatan itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman juga mengumumkan pembubaran tim 35 jaksa yang bertugas menyelidiki dua kasus BLBI tersebut sekaligus menghentikan penyelidikan kasus tersebut.

Keputusan Kejagung tersebut relevan dengan logika keadilan hukum bisnis. Bagaimana mungkin, obligor yang dinilai pemerintah sebagai obligor yang kooperatif, dianiaya melalui berbagai unjuk rasa oleh para aktivis mahasiswa, dan juga dibombardir berita negatif yang berasal dari anggota DPR-RI. Sebaliknya, obligor yang jahat dan tidak kooperatif (seperti yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR-RI), justru tidak tersentuh hukum. Bahkan sebagian, sukses ngumpet di luar negeri.

Oleh sebab itu, sebaiknya aparat hukum, baik Polri maupun Kejakgung mengusut siapa konglomerat hitam yang menjadi biang kerok dan sponsor dibalik kegaduhan BLBI selama ini. Selain merepotkan pemerintah karena membuang-buang energi dengan membuka kasus lama yang sudah closed, tekanan publik melalui unjuk rasa dan pernyataan negatif, sudah menorehkan citra negatif terhadap iklim investasi di Indonesia.

Berbagai kalangan kritis memprediksi, ada disain besar yang disponsori oleh konglomerat hitam untuk meluluh-lantakan tatanan hukum bisnis investasi setelah dia mereguk keuntungan ekonomis dan politis sekaligus. Dalam hal kepentingan ekonomis, konglomerat hitam itu hanya ingin mengeruk keuntungan tanpa mau mempertanggungjawabkan kewajiban utang-utang.

Konglomerat hitam sudah mengambilalih asset obligor BLBI melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan harga yang murah, namun tidak mau membayar kewajiban kepada pihak ketiga. Pengusutan terhadap konglomerat hitam seperti ini pastilah akan memberikan citra positif terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. (SBY). Adakah political will pemerintah untuk memberangus konglomerat hitam seperti ini? sebaiknya pemerintah yang menjawab pertanyaan ini.

[Sumber : OKEZONE DOTCOM. Tulisan ini juga bisa dilihat di :