Jumat, 11 Juli 2008

Pencekalan Sjamsul Nursalim Menimbulkan Ketidakpastian Hukum

[Okezone] - Selain meminta Yusuf Emir Faisal dicekal, KPK juga ternyata telah meminta pihak imigrasi untuk mencekal mantan bankir nasional yang terlibat kasus BLBI, Sjamsul Nursalim.

Bahkan, tidak hanya Sjamsul, istrinya Ici Nursalim pun ikut dicekal.

"Ya KPK juga minta kita mencekal Sjamsul Nursalim, Ici Nursalim dan seorang Romi Darma Satriawan," ujar Direktur Penyidikan dan Penindakan Imigrasi, Syaiful Rahman kepada okezone, Jumat (11/7/2008).

Syaiful menambahkan bahwa pencekalan ini sudah berlaku semenjak 3 Maret 2008 lalu dan itu karena sebelumnya Kejagung tidak meminta perpanjangan pencekalannya yang telah habis semenjak Oktober 2007.

SKB Penghematan Energi Jangan Sampai Menurunkan Produktivitas Nasional

[The Global Center] - Rencana pemerintah yang akan menerbitkan SKB tentang penghematan energi diharapkan jangan sampai menurunkan produktivitas industri. Seharusnya pemerintah segera melakukan pemetaan terhadap konsumsi energi khususnya listrik di perusahaan dan daerah-daerah.

Seperti diketahui, pemerintah akan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) lima menteri, yaitu Menteri Perindustrian, Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Menteri Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Menneg BUMN mengenai pengaturan jam kerja industri, diharapkan rampung akhir Juli ini. Dengan demikian, kebijakan baru, yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan beban listrik tersebut, dapat segera diimplementasikan tiga bulan setelah diterbitkannya SKB.

Pemerintah mengharapkan, dengan diterbitkannya SKB tersebut, maka persoalan kelangkaan pasokan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (persero) dengan kebutuhan industri diharapkan dapat segera teratasi. Pengaturan jam kerja pabrik ini dinilai efektif guna menghindari pemadaman listrik. Dengan begitu, industri dapat terus melakukan kegiatan operasionalnya sebaik-baiknya.

Penghematan energi memang harus dilakukan oleh semua kalangan, namun demikian jangan sampai SKB tersebut menurunkan produktifitas. Hal demikian perlu digarisbawahi, soalnya program penghematan yang dicanangkan pemerintah, terutama dalam hal pembatasan konsumsi listrik bagi perusahaan manufaktur dengan pengurangan shift kerja, pasti akan berdampak langsung terhadap produktivitas dan kelangsungan ribuan pekerja. Efisiensi bukan pembatasan produktivitas, melainkan pengelolaan pemanfaatan energi secara efektif

Bukan itu saja, pemberian sanksi khusus kepada industri yang dianggap boros, tentunya akan mempersulit kalangan industri dalam memanfaatkan listrik. Padahal, konsumsi listrik bisa dihemat tanpa harus mengurangi produktivitas dan tanpa harus melakukan kontrol ketat. Padahal, kuncinya ada pada pengelolaan energi secara bijak dan proporsional. Melalui pemetaan konsumsi listrik di setiap perusahaan, kabupaten, maupun kecamatan maka akan mendorong kalangan industri dan masyarakat untuk melaksanakan penghematan energi.

Terus terang saja, kebijakan pemerintah soal penghematan energi ini sangat memprihatinkan karena selain terkesan reaktif dan jangka pendek, dari sisi implementasi juga sangat miskin. Akibatnya, kebijakan pemerintah dalam menekan laju konsumsi energi, seperti BBM dan listrik, tidak akan berdampak nyata, apalagi program efisiensi energi, yang disuarakan akan dilaksanakan pemerintah, hanya sebatas wacana saja.

Jika SKB penghematan energi ini menurunkan produktifitas, maka lima menteri yang menandatanganinya harus bertanggungjawab secara moral dan material kepada rakyat. Kita lihat saja nanti, mudah-mudahan tidak sampai menurunkan produktifitas nasional.

Kamis, 10 Juli 2008

Dukungan untuk ICW dan KPK Soal Penyimpangan BP Migas

[Solidaritas Rakyat Anti Korupsi] - Kami dari Solidaritas Rakyat Anti Korupsi (SORAK Indonesia) mendukung sepenuhnya langkah yang diambil oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) dengan melaporkan adanya dugaan penyimpangan keuangan yang dilakukan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami juga menyemangati KPK agar dapat menuntaskan persoalan ini lebih cepat dan akurat.

Karena itu, BP Migas pun seharusnya bisa bisa menanggapi tuduhan Indonesia Coruption Watch (ICW) soal adanya penyimpangan yang terjadi pada kurun waktu tahun 2000-2007 dari penerimaan dari minyak dan gas (migas) yang masuk ke kantong negara sebesar Rp 194 triliun.

Hal demikian sangat penting untuk direspon agar rakyat mengetahui duduk persoalannya. Jika memang benar yang terjadi demikian, maka wajar saja jika bangsa ini selalu dibelit persoalan krisis energi. Jika tidak benar, argumentasinya pun harus jelas, karena rakyat sebenarnya sudah lelah dengan penderitaan krisis energi yang berkepanjangan. Para pejabat ESDM mulai dari menteri, dirjen dan BUMN-nya harus memiliki dan lingkungannya tidak pernah berhasil.

Seperti diketahui, perhitungan sebesar total Rp 194 triliun yang ditemukan ICW merupakan kalkulasi dari berbagai sumber data yakni Kementerian ESDM, BP Migas, dan Dirjen Migas. ICW telah melkukan kroscek data untuk laporan hasil keuangan berdasarkan LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) di Depkeu. Dari hasil riset ICW tersebut ditemukan adanya kekurangan penerimaan minyak Rp 194 triliun.

Penyimpangan terjadi karena angka produksi minyak Indonesia yang dilaporkan dalam realisasi penerimaan negara jauh lebih rendah dari realisasi sebenarnya. Rata-rata tiap tahun dilaporkan lebih rendah 16,102 juta barel. Atau, terjadi selisih kurang dari 128,820 juta barel. Selain itu pola bagi hasil minyak tidak sesuai dengan yang seharusnya.

Selain itu, pola bagi hasil antara pemerintah dengan kontraktor seharusnya 85:15 tapi dari hasil audit BPK mengindikasikan bagi hasil minyak Indonesia dalam prskteknya hanya 67:33. Berdasarkan hasil audit BPK terhadap LKPP dari tahun 2005-2007 ditemukan penerimaan migas yang tidak dicatat dan dibelanjakan tanpa melalui mekanisme APBN senilai RP 120,329 T. Begitu juga hasil audit BPK terhadap kontrak dengan kontraktor kerjasama minyak dengan temuan senilai RP 39,999 T yang tidak perlu dibayar sebagai cost receovery minyak.

Mudah-mudahan, KPK bisa menemukan penyimpangan-penyimpangan di lingkungan ESDM agar persoalannya bisa segera diketahui. Dengan demikian maka akan membawa dampak positif bagi solusi atas persoalan krisis energi -- seperti yang masih terjadi sekarang ini. Terima kasih.

Rabu, 09 Juli 2008

Benarkah Indonesia Mengalami Krisis Energi ?

[Indonesia Cabinet Watch] - Hari-hari terakhir ini, perhatian pemerintah kita terfokus kepada bagaimana mencari solusi untuk mengatasi krisis energi. Harga bahan bakar minyak naik, harga bahan bakar gas juga naik, bahkan listrik pun menjadi langka. Indonesia dianggap sedang mengalami krisis energi. Namun, benarkah Indonesia sedang mengalami krisis energi ?

Pertanyaan ini sangat penting untuk digarisbawahi, soalnya kondisi produksi energi di dalam negeri sebenarnya dalam posisi yang aman dan bahkan mengalami surplus. Lihatlah komentar pengamat ekonomi Imam Sugema di media yang menjelaskan, produksi minyak saat ini mencapai 927 ribu barel per hari, sedangkan produksi gas alam ekuivalen dengan 700 ribu barel minyak per hari. Kemudian produksi batu bara mencapai 200 juta ton per tahun, atau ekuivalen dengan 2,6 juta barel minyak per hari.

Hal ini berarti, total produksi adalah 4,2 juta barel per hari. Dengan tingkat konsumsi masyarakat yang jumlahnya 1,2 juta barel per hari, berarti pasokan energi dalam negeri sebenarnya surplus. Kalau seluruh potensi energi itu dapat terserap dengan baik, seharusnya tidak akan ada istilah krisis energi.

Lalu, di mana masalahnya, kok saat ini kita mengalami persoalan yang ruwet dalam bidang energi ini ? Setelah dianalisa oleh banyak pakar, ternyata masalahnya bukan pada pasokan energi dalam negeri dan bukan pula berasal dari minimnya produksi. Persoalan kita saat ini lebih banyak karena amburadulnya pengelolaan sumber daya energi oleh pemerintah.

Sebaiknya, pemerintah melakukan instrospeksi sekaligus melakukan evaluasi menyeluruh mengenai berbagai kebijakan di lingkungan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Berbagai kebijakan yang tidak sesuai dengan harapan rakyat harus segera distop. Ada kesan, para pejabat ESDM lebin cenderung memprioritaskan asing dalam berbagai hal – seperti yang dikritik oleh mantan Ketua MPR Amien Rais.

Selain itu, perlu juga ada pengawasan yang signifikan terhadap alokasi energi yang disalurkan ke luar negeri. Langkanya energi di dalam negeri, padahal produksi di dalam negeri cukup, patut diduga ada pihak-pihak atau oknum yang menyelundupkan energi seperti ini ke luar negeri. Kemudian, jika hal ini yang terjadi, lalu siapa yang harus bertanggungjawab ? Menurut kami, hal seperti ini jauh lebih penting dicari oleh pemerintah, daripada mencari formula yang justeru semakin menyulitkan rakyat.

Selasa, 08 Juli 2008

Mengapa PLN Tidak Mampu Merespon Permintaan Listrik ?

[Asian Studies Forum] - Sungguh memprihatinkan kinerja Perusahaan Listrik Negara (PLN) saat ini, yang dinilai tidak mampu merespon permintaan listrik yang semakin meningkat dalam beberapa bulan kedepan. Padahal dalam 12 bulan ke depan, permintaan listrik akan meningkat secara tajam. Jika PLN tidak mampu untuk merespon hal ini akibatnya tentu akan sangat fatal.

Padahal, pemerintah sendiri sudah menegaskan sikapnya untuk mereview kontrak batubara yang sudah ada selama ini. Melalui Menko Perekonomian Sri Mulyani, pemerintah sudah menegaskan bahwa siapapun pemasoknya dan juga dari sisi konteks nanti akan direview dengan PLN. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga pembangkit listrik agar tidak "byar-pet"

Sayangnya, manajemen PLN bergerak lamban dengan argumentasi harus mempertimbangkan berbagai segi. Memang masalah listrik ini merupakan persoalan yang menyangkut banyak kendala dari sisi PLN. Tidak mengherankan jika kemudian Wakil Presiden Jusuf Kalla sampai turun tangan dan masyarakat diminta untuk memilih apakah ingin listrik padam secara bergiliran atau memilih kerja bergiliran sehingga masih tetap bisa berproduksi.

Menurut Wapres, saat ini yang diperlukan adalah pemerataan beban penggunaan listrik. Selama ini, beban puncak penggunaan listrik pada hari-hari kerja. Sementara pada hari Sabtu dan Minggu terjadi penurunan pengunaan listrik. Karena itu, pemerintah minta jam kerjanya saja dipindahkan ke hari Sabtu dan Minggu, sehingga tidak menumpuk di beban puncak.

Mengenai ancaman Asosiasi Perusahaan Jepang yang akan memindahkan usahanya ke Cina jika terus terjadi pemadaman listrik, Wapres mengatakan apa yang dialami Indonesai saat ini juga pernah dialami Cina sebelumnya. Dan saat ini, Cina juga mengalami krisis energi. Selain itu, tambah Wapres harga listrik di Cina masih lebih mahal jika dibandingkan dengan Indonesia.

Dukungan pemerintah yang direpresentasikan oleh Menko Perekonomian dan Wakil Presiden rasanya sudah cukup kuat bagi PLN untuk lebih sigap bergerak untuk merespon permintaan listrik. Jika masih bergerak lamban dan tidak mampu merespon permintaan listrik, sebaiknya pemerintah mengevaluasi ulang manajemen yang mengelola PLN sekaligus meminta pertanggungjawaban moral dan social para petinggi PLN, mengapa selalu mengorbankan konsumen, jika masalahnya ada di tinggal koordinasi korporasi dan pemegang saham – dalam hal ini pemerintah ?

Minggu, 06 Juli 2008

Komisaris BUMN Jangan Hanya Pajangan

[Indonesia Care Group] - Jabatan komisaris di sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinilai hanya pajangan. Buktinya, sebagian posisi komisaris diisi oleh orang yang merangkap jabatan bahkan ada yang tidak pernah terkait dengan wilayah kerja BUMN. Sebagaimana diketahui, selain diisi pejabat ada juga komisaris yang diisi oleh aktifis mahasiswa, aktifis parpol, dan purnawirawan yang pernah aktif membantu tim sukses di masa kampanye.

Padahal jabatan komisaris tidak bisa dikerjakan secara sampingan atau sambil lalu. Berdasarkan UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, tugas komisaris sesungguhnya sangat berat. Pasal 114 ayat 3 menegaskan bahwa anggota dewan komisaris ikut bertanggungjawab secara pribadi atas kerugian perseroan jika yang bersangkutan bersalah atau lalai bertugas.

Salah besar, jika dalam realitasnya kemudian jabatan komisaris ini menjadi pajangan saja, apalagi kompensasi dan gaji yang diberikan kepadanya pun besar dan menggiurkan. Berdasarkan penelusuran media massa, gaji komisaris pada umumnya adalah Rp 25 juta/bulan. Namun untuk BUMN di bidang keuangan & perbankan, bisa mencapai Rp 50 juta. Bukan itu saja, mereka juga memperoleh tunjangan-tunjangan yang jumlahnya wah.

Oleh sebab itu, sungguh memprihatinkan jika para komisaris ini hanya ongkang-ongkang menikmati kompensasi, gaji dan tunjangan-tunjangan. Argumentasi Menneg BUMN bahwa kehadiran komisaris diperlukan karena mewakili kepentingan pemerintah, patut dipertanyakan efektifitasnya. Benarkah komisaris tersebut mewakili kepentingan pemerintah ? Benarkah dengan akses informasi yang diperolehnya, akan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan pemerintah ? Mudah-mudahan demikian, kalau pun tidak semoga jabatan ini bukan hanya menjadi pajangan.

Sabtu, 05 Juli 2008

Pengaturan Jam Kerja untuk Industri Tidak Efektif

[Indonesia Moniter Network] - Rencana pemerintah untuk menghemat energi dengan melakukan pengaturan jam kerja dinilai tidak efektif. Soalnya, selain kontra produktif dengan program produktifitas nasional, pengaturan jam kerja juga tidak akan menghasilkan penghematan energi secara signifikan.

Beberapa pengalaman justeru membuktikan bahwa kegiatan seperti itu tidak efektif. Bahkan, beberapa pengusaha yang mengurangi jam kerja malah menderita kerugian secara signifikan, dan penghasilan karyawan yang bekerja juga mengalami pemiskinan, karena berkurangnya penghasilan secara sistematis.

Seperti dipublikasikan media, pemerintah segera mengatur jam kerja industri sebagai respon atas kenaikan harga minyak mentah dunia dan keterbatasan pasokan listrik. Aturan jam kerja instri akan tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Penghematan Energi. Rencananya, SKB ini ditandatangani oleh Menperin, Menteri ESDM, Menakertrans, dan Mendagri. Sanksi tegas bagi industri yang melanggar SKB akan dikeluarkan pada Agustus 2008.

Merespon keputusan pemerintah tersebut, kami khawatir keputusan parsial tersebut dilakukan secara emosional dan tergesa-gesa serta tidak efektif sebagai solusi yang tepat. Sesungguhnya, akar persoalannya ada di dalam tubuh kementerian ESDM itu sendiri -- termasuk perusahaan negara di bawahnya, yaitu PLN. Permasalahan utamanya adalah masalah kelangkaan pasokan BBM PLN.

Sayangnya, yang disolusikan justeru di tingkat industri yang tidak terlalu membebani pengoperasian pembangkit PLN. Solusi jangka pendek ini juga menunjukkan kepanikan pemerntah dalammenghadapi krisis energi di dalam negeri. Jika pemerintah nekad akan memberlakukan hal ini, seyogyanya dilakukan pengkajian yang terencana, komprehensif dan berhasil juga karena kebijakan seperti ini pasti akan memiliki implikasi sosial yang sangat besar.kami mengingatkan, sebaiknya pemerintah jangan membuat kebijakan yang asal-asalan.

[Sumber :